Kota Bima — Sikap tegas ditunjukkan Fraksi Partai Golkar DPRD Kota Bima dengan memilih walk out dari rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD yang membahas tindak lanjut Keputusan Gubernur NTB Nomor 173.3.1.678 Tahun 2025 tentang Evaluasi Raperda APBD Kota Bima Tahun Anggaran 2026.

Akibat sikap tersebut, Fraksi Golkar tidak menghadiri Rapat Paripurna ke-9 DPRD Kota Bima, Selasa (30/12/2025).

Rapat Paripurna tetap digelar meski hanya dihadiri 14 dari total 25 anggota DPRD, setelah sejumlah anggota Fraksi Merah Putih menyatakan penolakan terhadap keputusan Banggar dan beberapa anggota Fraksi NasDem tidak memberikan keputusan akhir saat rapat Banggar.

Wakil Ketua DPRD Kota Bima sekaligus Ketua Fraksi Golkar, Dae Pawan, membenarkan sikap walk out tersebut. Ia menyebut langkah itu diambil sebagai bentuk penolakan terhadap praktik penambahan anggaran baru yang dinilai menyalahi mekanisme evaluasi gubernur.

“Kami walk out karena dalam RAPBD 2026 tiba-tiba muncul penambahan anggaran belanja baru untuk Rumah Sakit Kota Bima senilai Rp25 miliar. Ini tidak pernah dibahas dalam perencanaan awal,” tegas Dae Pawan.

Menurutnya, evaluasi oleh Gubernur bukan ruang untuk menyelipkan program atau anggaran baru, melainkan semata-mata untuk mengoreksi dan menyempurnakan RAPBD yang telah disusun melalui tahapan formal.

Ia menegaskan, RAPBD Kota Bima sebelumnya telah melalui proses panjang dan sah secara prosedural, mulai dari KUA, PPAS, RKA OPD, pembahasan RAPBD, hingga persetujuan DPRD.

“SK Gubernur itu jelas berisi evaluasi terhadap RAPBD yang sudah disusun. Bukan membuka ruang pembahasan ulang, apalagi penambahan anggaran baru,” ujarnya.

Dae Pawan menilai, apa yang terjadi dalam rapat Banggar justru menyimpang dari substansi dan tujuan evaluasi sebagaimana diatur dalam regulasi pengelolaan keuangan daerah.

“Dalam konteks evaluasi RAPBD, mekanismenya bukan dibahas ulang penuh seperti RAPBD awal yang sudah diparipurnakan, tapi hanya penyempurnaan atau penyesuaian dari hasil evaluasi gubernur,” katanya.

Lebih jauh, ia mengungkapkan adanya perubahan signifikan struktur RAPBD setelah dilakukan evaluasi oleh TAPD. Dari struktur awal sekitar Rp748 miliar, RAPBD berubah menjadi sekitar Rp716 miliar. Sementara itu, PAD justru melonjak dari sekitar Rp98 miliar menjadi Rp106 miliar.

Perubahan tersebut, menurutnya, patut dipertanyakan karena terjadi di luar kerangka evaluasi yang semestinya bersifat korektif, bukan manipulatif.

Dae Pawan juga mengingatkan bahwa evaluasi gubernur merupakan instrumen pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan kepala daerah dalam penyusunan APBD.

“Evaluasi itu salah satunya untuk menghindari abuse of power. Pemerintah daerah dan DPRD hanya wajib menyempurnakan sesuai koreksi Pemprov NTB, lalu menyerahkan kembali ke gubernur. Bukan malah menyisipkan agenda baru,” tegasnya.

Ia menilai, jika mekanisme evaluasi terus disalahgunakan, maka fungsi pengawasan DPRD dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat akan kehilangan makna.

Sikap walk out Fraksi Golkar, kata Dae Pawan, adalah peringatan keras agar proses penganggaran tetap berjalan sesuai aturan dan tidak dijadikan ruang kompromi kepentingan di menit-menit akhir pembahasan APBD. (Red)

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
Axact

Dinamika Mbojo

Portal Berita Daerah Bima dan NTB yang mengulas Geliat Pembangunan Pemuka dan Tokoh Masyarakat

Post A Comment:

0 comments: